18 Agustus 2010

The Recycler King : Ahmad Dhani

0 komentar
Ruangan kediaman Ahmad Dhani dominan warna hitam [kursinya berwarna hitam, banyak perabotan berwarna hitam, serta dinding berwarna hitam] dengan gaya arsitektur yang seperti terpengaruh era Rennaisance. Senin, 5 April 2010 sore itu pun, dia memakai kaos dan celana berwarna hitam. Dhani muncul dengan kepala plontos, setelah beberapa waktu lalu terlihat dengan model rambut cepak bermotif alias Tribal Cut [yang dia bilang biaya pemotongan rambutnya Rp 250 ribu]. Ketika ditanya alasannya plontos, dia mengatakan bahwa dia salah seorang yang pantas berkepala plontos.

Dua orang petinggi perusahaan rekaman sedang bertamu ke sana ketika wawancara dilakukan. Sore itu dia bercerita dengan nada bahagia soal betapa konser T.R.I.A.D sukses menjaring banyak penonton. Dhani bahkan berani berkata bahwa T.R.I.A.D alias The Rock Indonesia Ahmad Dhani akan lebih besar dari Dewa [Dhani mengatakan bahwa Triad secara bahasa berarti tiga dewa], setelah melihat respon penonton di konsernya. “Soalnya saya pernah jadi Dewa, jadi bisa tahu,” katanya ketika ditanya kenapa dia seyakin itu.

Tapi karya Dhani bukan hanya T.R.I.A.D dan Dewa, karena kini dia juga menjadi pencipta lagu, arranger, produser, sekaligus engineer rekaman artis-artis yang tergabung di Republik Cinta Management [RCM]—untuk menyebut beberapa di antaranya: Mulan Jameela, Mahadewi dan The Virgin. Dia juga mendaur ulang lagu-lagu buatannya untuk dinyanyikan artis-artis RCM, sehingga membuat siapapun yang paham bisnis akan menganggap naluri bisnis Ahmad Dhani begitu kuat. Dan tak hanya lagu buatannya yang didaur ulang, dia juga mendaur ulang lagu-lagu buatan pencipta asing dari luar negeri untuk kemudian diganti liriknya. Akibatnya, tak sedikit kemudian yang mengira Ahmad Dhani menjiplak. Tapi, apapun pendapat orang, nyatanya lagu-lagu daur ulang itu sukses secara komersil.

Anda mendapat penghargaan sebagai The Recycler King, bagaimana perasaan Anda soal pelabelan terhadap diri Anda?
Aku sih mau dikasih predikat apa aja nggak masalah. Kalau orang mau melabeli aku, sebenernya banyak yang pantes buat aku.

Misalnya?
Nomer satu ya, pengarang lagu yang paling eksklusif. Saya tidak membuat lagu untuk siapa saja, sementara pengarang lagu lain mengarang lagu untuk siapa saja. Penyanyinya pun aku nggak sembarangan, aku tuh termasuk orang yang paling pelit ngasih lagu ke orang lain. Hampir semua penyanyi Indonesia minta lagu sama gua, dan nggak gua kasih. Alasannya ya karena gua eksklusif buat artis-artis Republik Cinta. Nomer dua, musisi yang paling arogan. Karena gua nggak pernah nyamperin bos, tapi bos yang nyamperin gua. Dari jaman Dewa 19, itu kenyataan. Nggak ada deh [yang begini], lo boleh cari ke toko sebelah [tertawa]. Sebenernya bukan gua sombong, tapi kesibukan gua sebagai musisi juga, kepala rumah tangga, single father lah. Mereka-mereka ini menghargai gua sebagai single father, bukan karena gua gimana gimana. Nggak ada tuh padanannya.

Bisa disebutkan lagi?
Pionir untuk artist management. Siapa sebelumnya? Sebutin aja siapa yang punya artist management untuk pertama kali, dan sukses. Dan bisa dibilang artist management di Indonesia yang pertama kali dan terkenal di Indonesia ya Republik Cinta, bisa disebut nggak siapa?

Pos Entertainment punya Dhani Pette
Pette kan bukan musisi, lagipula artisnya siapa? GIGI kan? Dulu manajemen Dewa juga ada.

Lalu?
Musisi yang paling lama karirnya, dari tahun ’92 sampai sekarang.

Slank juga lama karirnya
Tapi kan Slank sendiri, bukan produser band lain... [berpikir beberapa detik sebelum melanjutkan lagi]. Ya kalau hits maker sih banyak yang nyamain lah. Ya itu termasuk pionir untuk nyadur lagu asing, itu juga belum ada. Banyak yang mau niru, cuma nggak bisa.

Mahal kah minta ijinnya?
Mahal dan nggak gampang. Yang “Cinta Mati” sih gampang, tapi yang “Cinta Mati III” itu susah. Sebenernya susahnya karena publisher-nya beda-beda. Publisher Indonesia nggak memberi gambaran pada orang Barat kalau di Indonesia ini musiknya nggak seperti di Barat.

Paling mahal yang pernah dikeluarkan untuk ijin menyadur?
“Cinta Mati III” itu seratus juta.

Kalau yang “Real Life” [untuk lagu “Cinta Mati”]?
Itu... [tidak melanjutkan]. ”Mustafa” mahal juga. Dua puluh juta tuh, padahal RBT nggak ada yang mau download. Kami nggak bayar hak untuk nyadur, karena mereka terima royalti bersih, seratus persen. Aku sebagai pengarang lirik nggak dapet apa-apa. Yang pertama aku pikir udah Yahudi itu, “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada”, aku sebagai penulis lirik cuma dapet 25 persen, aku pikir itu udah cara yang paling Yahudi. Mulai lagu “Cintaku Tertinggal di Malaysia” aku mulai nggak dapet fee sebagai penulis lirik.

Dapat ide dari mana menyadur lagu orang?
Idenya banyak lagu bagus dari luar yang harus diperdengarkan di Indonesia. Makanya, banyak yang nanya, ‘Kenapa sih Dhan, nggak buat lagu sendiri? Kenapa harus nyadur?’ Aku bilang ya, ‘Kenapa orang harus dengar lagu saya?’ Sementara banyak lagu bagus di luar.

Bukan karena malas membuat lagu?
Daripada saya minta lagu ke orang lain. Kan nggak mungkin, seluruh artis di Republik Cinta aku semuanya yang ngarang. Jadi aku harus minta bantuan orang, perusahaan rekaman kan nggak mungkin ngandelin satu pengarang lagu. Maka dari itu harus dibantu oleh pengarang lagu lain, yaitu pengarang lagu Barat yang menurut saya lagunya bagus.

Akhirnya orang yang tak tahu, mengira Anda menjiplak
Salah sendiri nggak tahu [tertawa]. Pertamanya tahun 2003, lagu “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” itu resmi minta ijin. Karena lemahnya informasi di Indonesia, mereka nggak tahu.

Atas dasar apa artis-artis yang Anda rekrut bisa bergabung?
Atas dasar feeling-ku aja, nomer satu seleraku, nomer dua ya bisnis. Kalau aku ngarang lagu buat artis Republik Cinta, mereka nyanyi aku dapet side effect bisnisnya karena artisnya aku yang megang. Kalau misalnya bikin lagu buat Bunga Citra Lestari, abis itu BCL nyanyi ke mana-mana dapet duit, aku nggak dapet apa-apa... It’s all about money, business as usual.

Dari awal Dewa 19 orientasinya sudah uang?
Yaa saya rasa semua pemain band, orientasinya uang. Nggak mungkin lah untuk kesenangan itu, sampai sekarang pun. Apalagi sekarang, saya punya [kira-kira] 35 pegawai yang harus dibayar tiap bulannya, kalau orientasinya nggak uang, nggak mungkin.

Apa bedanya Ahmad Dhani yang sekarang dengan dulu?
Sebenernya ya beda aja, cuma sekarang mungkin lebih fokus kepada Ahmad Dhani. Dulu kan Ahmad Dhani ada Dewa, sekarang lebih sendiri aja. Kalau dulu kan masih banyak Dewa nya.

Momen apa yang membuat Anda maju ke depan dan tak hanya di balik kibord?
Aku rasa jadi penyanyi seru juga. Dulu kalau di Dewa misalnya, kayaknya cool kalau megang kibord yang banyak, megang gitar. Sekarang justru malah seneng nggak megang apa-apa. Dulu rupanya nggak pede, masih harus bawa senjata banyak. Sekarang bawa kecimpring aja. Dulu kan nggak pede, harus bawa gitar, seolah-olah bisa maen gitar. Kibordnya banyak, seolah-olah butuh aktualisasi gua jago maen kibord nih [tertawa].

Menurut saya, ketika Anda lebih ke depan, aransemen Dewa jadi lebih sederhana
Nggak juga ya. Banyak orang yang menilai begitu, justru gua bilang, semakin gua tambah canggih, orang semakin nggak ngerti. Padahal apa yang gue lakuin dulu, itu mainan anak-anak. Sebenernya puncak kecanggihan itu di saat sekarang ini, tapi orang nggak ngeh.

Lebih canggih dari sisi apa?
Apapun, komposisi maupun aransemen. Karena dimensi berpikir orang nggak seperti gua sekarang, kalau dulu kan gua main kibord, sekarang dimensi gua lebih luas lagi. Gua sekarang produser, bisa nguasain komputer. Dulu gua nggak pernah ngaransemen string, brass, sekarang bisa. Itu menurut gua lebih canggih, cuma orang nggak nyampe.

Ketika orang membandingkan album Terbaik-Terbaik dengan karya Anda sekarang, pasti merasa lebih baik yang dulu
Menurut gua Terbaik-Terbaik biasa aja aransemennya, gua bisa melakukan itu lagi kapanpun. Jadi menurut gua sesungguhnya yang menilai itu kebanyakan orang nggak ngerti musik. Bayangin aja, waktu gua rilis “Munajat Cinta” semua orang yang ngerti musik, wartawan yang nggak ngerti musik...ada sih wartawan yang maen musik, tapi biasa-biasa aja, nggak seberapa respon terhadap lagu itu. Tapi Giring Nidji langsung nelpon aku, ‘Gila Bang, sialan aku [denger lagu itu] di mana-mana, emang anjing itu lagu.’ Ariel nelpon aku, jadi yang ngeh itu ya orang-orang seperti Giring dan Ariel, bagaimana canggihnya lagu “Munajat Cinta.” Itu kecanggihan di dalam kesederhanaan. Jadi “Munajat Cinta” itu sebuah lagu, yang ngerti ya orang-orang yang dimensinya, se... misalnya kalau orang yang hidup di dataran pertama nggak akan bisa mengerti yang di dataran atasnya. Sama dengan orang yang hidup di langit satu, dia nggak akan ngerti yang di langit dua langit tiga, karena mereka itu hidup di dimensi langit pertama. Sedangkan gua posisinya udah di langit kelima, bagaimana lu bisa menilai sesuatu yang ada di langit kelima sementara elu masih di langit pertama? Gua aja belum tentu bisa bikin lagi “Munajat Cinta,” tapi apa yang ada di Terbaik-Terbaik, gampang. Makanya, dimensinya udah berubah. Orang harus melihat Ahmad Dhani udah bukan Ahmad Dhani yang pemain kibord-nya Dewa. Gua lebih jauh lagi, udah produser musik beneran. Produser musik Mulan Jameela, Mahadewi. Menurut gua lagu paling canggih yang pernah gua buat itu, “Kamu-Kamulah Surgaku.” Itu lagu paling bagus yang pernah aku bikin, baik dari lirik maupun musik. Nah cuma, berapa banyak sih yang upgrade dalam pemahaman? Kan nggak banyak. Nah pada saat gua upgrade, banyak orang nggak ngeh.

Berarti kalau ada yang komentar musik Dhani makin jelek, mereka tak mengerti?
Nggak ngerti. Ya gua maklumi saja. Nggak usah kritikus musik, musisi aja nggak banyak yang berkembang. Yang bener-bener berkembang dalam tataran pemahaman musik, maupun selera, maupun karir, nggak banyak.

Pendengar musiknya?
Ya itu fluktuasi lah, untungnya selera dunia memang lagi turun. Human resources di musik lagi turun, itu udah efek berlipat. Udah nggak ada orang secanggih Kurt Cobain misalnya. Musisi jenius bisa dihitung dengan jari, kalau dulu banyak. Jaman kan memang seperti itu, ada jaman begitu banyak penemu, ada jaman kayak Dark Ages di Eropa. Sekarang ini jaman bingung, musik tahun 2010 sama musik tahun 2000 sama aja. Dulu, musik tahun ’85 didenger tahun ’90 udah kuno banget. Musik tahun 2000 kita denger tahun 2010 nggak ada bedanya.

Tadi bicara soal Yahudi, Anda kan pernah digosipkan Yahudi
Ya mungkin aja karena Yahudi kan pinter. Mungkin saking pinternya itu. [terkekeh]. Yahudi tuh gini, sama kayak orang Jawa ada yang pinter dan yang jahat. Nah kalau Yahudi itu, kalau udah pinter, pinter banget, jahat jahat banget, baek baek banget, jahat jahat banget.

Mendengar salah seorang dari dua orang perusahaan rekaman yang datang siang itu berkomentar soal Georgo Soros yang Yahudi, Dhani lantas bercerita panjang lebar soal kejatuhan ekonomi Indonesia di tahun ’97 dengan teorinya soal Economic Hitman.

Anda punya pemikiran terhadap negara, tapi sisi yang ini jarang terlihat di media
Gua merasa pemikiran itu nggak cocok buat musik, karena gua tidak mau menjual ide gua tentang negara dalam lirik lagu.

Waktu Ahmad Band?
Makanya sekali aja cukup. Nggak ada gunanya. Tidak akan mengubah keadaan.

Waktu itu merasa bakal ada perubahan?
Waktu itu iya, karena kan jamannya Pak Harto, keadaan Indonesia lagi begitu.

Tapi Anda pengagum The Beatles, kan John Lennon percaya pada lirik lagu bisa mengubah keadaan
Kan liriknya John Lennon tidak seperti lirik anti korupsi. Aku juga punya lagu seperti itu tapi tidak yang politik seperti apa. Lagu “Imagine” kan bukan lagu politik. Politik itu bukan wacana musik. Dan saya beberapa kali menyaksikan banyak musisi yang nggak ngerti politik.

Saya menunjukkan komentar dan pertanyaan dari para pengguna Twitter soal Ahmad Dhani. Sehari sebelumnya saya bercerita di Twitter soal rencana saya mewawancarai Dhani, dan banyak yang membalas dengan menitip pertanyaan. Tak sedikit yang mengatakan Dhani arogan dan sombong.

Seberapa sering Anda mendengarkan pendapat orang?
Nggak pernah denger. Dari dulu begitu, karena gua menganggap semua orang ini kan nggak ngerti [sambil melihat lembaran kertas berisi pernyataan dan pertanyaan dari orang-orang di Twitter].

Apakah gosip di infotainment menggangu Anda?
Nggak. Misalnya gua dibilang arogan, ya gua jawab aja emang gua arogan. Wajar lah kan mereka nggak kenal. Ini Denny Sakrie masih ribut aja masalah “Real Life” [Dhani memandangi komentar Denny Sakrie si kritikus musik]. Bayangin aja, orang seperti Denny Sakrie aja masih nggak ngerti, apalagi orang yang bukan kayak Denny Sakrie. Itu perlu dikutip. Nggak mungkin kita rilis lagu Barat terus diganti liriknya kalau belum beres urusan legalnya. Nggak mungkin bisa masuk di Telkomsel. Nah dimensi itu yang orang-orang seperti Denny Sakrie belum sampai ke tataran itu, tataran legalitas. Jadi agak susah juga ngomongnya [tertawa].

Kenapa Anda menyanyikan “Madu Tiga”?
Itu lagu yang menurut saya, pantas dinyanyikan. Dan cuma saya yang pantes nyanyi, yang lainnya nggak pantes. Karena ada satu lagu yang cuma saya pantas nyanyiin, Ari Lasso nggak pantes, Once nggak pantes, Deddy Backbone juga nggak pantes. Tentunya selain P Ramlee yang ngarang lagu. Selain itu, cuma Ahmad Dhani, yang lain nggak ada yang pantes dan nggak ada yang berani. Nah itu kan wacana di mana bahwa yang namanya seni itu, kadang tidak melulu masalah art aja. Orang yang masih melihat seni dalam dimensi art, tentunya nggak akan mudeng, kenapa nyanyiin lagu “Madu Tiga”? Aransemennya bagus sekali, rekamannya pun di Australia, berarti kan itu sesuatu.

Kalau diijinkan, mau beristri tiga?
Ya empat dong. Tanggung amat?

Tak bakal repot?
Nggak! Makanya jangan samain Ahmad Dhani dengan orang lain [tertawa].


Rolling Stone Magazine

0 komentar:

Posting Komentar